Pernah baca artikel di Wolipop.Indo dan menemukan beberapa hal yang menohok. Secara tidak langsung selama ini saya tidak jujur pada diri sendiri. Terlalu sering mencari pembenaran. Banyak followers (di twitter) saya yang sudah menebak saya pasti menyukai “dia yang namanya tidak boleh disebutkan”, dimana diri saya sendiri selalu denial dan mengatakan dengan pasti dan sok-sok tersenyum “Saya tidak menyukainya seperti itu. Dia teman saya. Tidak lebih. Tidak lebih dari teman baik”.
Cerita ini mungkin pernah saya singgung di beberapa postingan saya tahun lalu. Saya kenal dia sudah lama. Dari tahun 2005. Tapi baru kembali dekat dan cukup intens berkomunikasi setelah saya memiliki gadget yang mengklaim produknya super canggih gitu, blackberry. Berawal dari chat YM, beberapa kali sms, dan telpon. Semua berlangsung selama tahun 2010. Tapi sekarang sudah cukup jarang. Bahkan saya hampir tidak tahu apa saja kesibukannya dia sekarang. Hanya bisa menebak-nebak jam dia bangun, ke kantor, pulang kantor, nyampe kost, pulang ke Bdg. Yap...hanya itu. Menebak-nebak.
Mungkin karena sudah sering dengan komunikasi seperti itu saya jadi merasa “nyaman” dengan dia. Sampai akhirnya baru beberapa bulan belakangan ini saja saya berani mengakui (tidak kepadanya tentu saja) bahwa saya memang memiliki “rasa” itu. Dan sekarang ketika komunikasi kami sudah tidak intens lagi, saya mulai merasa kehilangan dia. Kangen dengan chat-chat kami. Kangen dengan komunikasi kami. Tapi saya tahu, saya tidak mungkin, bahkan tidak boleh untuk mengatakan itu kepadanya. Sama aja cari mati. Well, he’s unreachable person. He love someone-else. And me, just a fool person who love someone whose forbiden to be loved (okeh mulai lebay).
Saya bukan peramal yang bisa mengetahui isi kepalanya. Saya juga bukan seseorang yang berani untuk mengatakan segala isi hati ini kepada dia karena saya tidak mau merusak hubungan ini. Pertemanan ini tidak perlu rusak hanya karena “mulut besar saya kan?!”. Tapi ada seorang teman yang tampaknya bisa (atau hanya perasaan saya saja) membaca bahwa dia pasti tahu perasaan saya ini. Kata teman saya, ini terlihat jelas dari beberapa postingan saya untuk dia (meski saya tidak pernah menyebutkan namanya), beberapa twits saya di twitter yang kelewat batas curcolnya tentang dia, dan terkadang ada beberapa lagu yang pernah saya posting diperuntukkan kepadanya. Kata teman saya lagi, meski saya merasa yakin bahwa dia tidak akan pernah usil ngubek-ngubek beberapa postingan saya yang mensinyalir tentang dia atau membaca twits saya, tapi dia pasti tahu perasaan saya ini, hanya saja dia cukup diam dan pura-pura tidak tahu. Mungkin untuk menjaga pertemanan ini juga.
Hmm...jikalau memang dia mengetahui perasaan saya ini dan itu memang mungkin karena ketidak-intens-an dia di dunia maya dan dia sudah jarang menghubungi saya, meskipun ketika sesekali saya menelpon dia, pasti tetap dia meladeni saya bahkan sampai 1jam-an telponnya (maaf dan makasih banyak ya a’) padahal dia pernah bilang ke saya “saya bukan tipe orang yang suka berlama-lama bertelponan”. Atau ketika saya ke Jakarta (untuk diperjelas, saya bangga tinggal di Kota Tangerang), pasti saya berusaha untuk bertemu dengannya meski terkadang dia sangat sulit untuk ditemui. Entah menghindar atau sangat sibuk (beda tipis dah perbedaannya), pokoknya saya sangat ingin (harus) bertemu dengannya. Berdua saja (gila, makin gawat inih). Karena setelah saya bertelpon-telpon ria dengannya atau setelah saya bertemu dengannya meski hanya 40 menitan (kok lamaan di telpon daripada ketemuan?), saya sangat bahagia (kerusakan otak stadium 1).
Ada saat-saat saya sangat galau dengan perasaan saya ini. Banyak yang mengatakan saya cukup bahkan sangat bodoh menyukai orang yang jelas-jelas tidak akan membalas dengan cara yang sama (to be honest, nobody knows what exactly happen between me and him, just my feeling to him that they knows). Kalaupun ada yang menebak-nebak tentang siapa orang yang sering saya singgung dalam twits saya, pasti mereka hanya mengatakan “ya ampyun, masih aja suka ama orang itu?” “gak capek apa lo memendam perasaan itu?” “bodoh amat sih lo”. Hmmm...baiklah saya terima saja. Toh memang itu kenyataannya. Saya bersedia menanggung segala resiko akan perasaan saya ini. Toh yang sakit saya juga. Tentu saya berusaha tidak membuat orang lain sakit (maaf ya kalu emang ada yang sakit hati akan perasaan saya ini). Dari awal saya tahu konsekuensinya. Yah...saya memang bodoh. Cinta itu terkadang membuat orang menjadi semakin bodoh.
Beberapa kali saya berusaha mengurangi rasa “ketergantungan” saya terhadapnya (looks like I already being addict by him). Berusaha untuk tidak menghubungi dia baik melalui ym, sms, ataupun telpon. Pernah saya menghitung sampai berapa lama saya tahan akan itu? Paling lama adalah 15 hari dan jreng jreng jreng ... dia yang memulai perbincangan, dan runtuhlah pertahanan saya (sok lebay). Meski hanya sekedar “buzz” di ym tapi itu sudah cukup bikin hati saya jungkir balik (okeh ini salah buesaaarrrr). Kalau sudah sampai pada titik saya marah, cemburu, atau merasa dikucilkan olehnya (secara tidak langsung tentu saja), saya akan melakukan metode itu. Lebih baik saya menghindari dia daripada saya marah-marah ke dia.
Dia hidup di lingkungan yang banyak dikelilingi oleh wanita. Mungkin banyak teman-temannya atau sahabat-sahabatnya (saya mungkin bukan sahabatnya) yang nota bene adalah wanita, dan tentu saja ini yang membuat saya tambah merasa di-biasa-kan olehnya. Tapi apa mau dikata. Toh saya bukan siapa-siapa dia selain HANYA teman. Dia mungkin sangat tahu bagaimana memperlakukan wanita. He’s some kindda womanizer, yet cool person. Tapi saya ingin lebih. Saya ingin menjadi yang special (meski dia sudah memiliki seseorang yang special). I just don’t wanna be “just friend”, at least i’m being his special friend. Pernah saya ingat dalam satu perbincangan kami di telpon dan ujung-ujungnya saya secara tidak sengaja mengatakan :
Saya... “Terima kasih ya sudah banyak membantu. Sudah mau mendengarkan keluh kesah aku. Hmm...kamu sudah membuat aku nyaman untuk menceritakan semua permasalahanku. You make me very convenient and you can do the same thing to me. You like my big brother. Just that. Gak bisa lebih dari itu.”
Dia... “iya. Jangan bilang gak bisa.”
Hhh....andaikan dia tahu saat itu kata-kata yang dikeluarkannya itu telah membuat saya melayang tinggi. Tapi ketika saat itu jgua saya menyakinkan diri untuk sadar, kembali saya terhempas ke bumi.
Ketika menuliskan draft postingan ini (gila, ginian aja pake draft), keadaan hati saya kembali menggalau. Sudah beberapa kali saya ke Jakarta dalam rangka kerja tapi ketika saya ke Jakarta ini selalu saya sempatkan sebelumnya untuk mencocokan jadwal dengannya supaya saya bisa bertemu dengannya, dan.....tetap saja dia sulit untuk ditemui. Sangat sibuk dengan pe’er dan pekerjaannya (very dedicated worker, and i’m very appreciate him by that). Seharusnya saya mengatakan bahwa saya ingin bertemu dengannya pada saat after work tapi tetap saja gagal total. Pernah suatu kejadian ketika saya mengajaknya untuk bertemu dan dia mengatakan “maaf saya sudah membuat janji”. OK. Saat itu benar-benar membuat saya sangat sedih atau sakit hati atau apalah you name it. Ketika dia menjelaskan karena mau farewell dengan beberapa sahabatnya yang akan pergi dan tentu dia ingin menghabiskan masa-masa terakhir dengan mereka, baiklah saya hanya bisa bersabar. Lho...apalagi yang bisa saya lakukan? Saya toh bukan siapa-siapa dia seperti yang saya utarakan di atas tadi. Saya toh tidak mungkin marah kepadanya. Apa hak saya? APA? (*sambil marah + memendam hasrat ingin nangis). “baiklah” kata saya dalam hati. Maybe someday. Who knows.
Yap. Sudah sering saya mencoba membuat janji bertemu dengannya akhir-akhir ini dan tentu berakhir dengan kegagalan. Meski dia pernah mengatakan bahwa: “nantilah ya kita buka bareng. Suatu hari di bulan Ramadhan”, dan tentu saja saya sangat menantikan hari itu. Atau pernah dia mengatakan “kita lihat minggu depan ya”, ini ketika saya mengajak dia nonton karena saya sudah mulai bosan. Tapi apa yang terjadi? Yang bisa saya lakukan sekarang hanya tertawa terbahak-bahak menertawakan kebodohan saya mempercayainya. Padahal dia pernah menyinggung dalam postingannya “jangan pernah mempercayai manusia”. Puncaknya adalah ketika 2 hari yang lalu saya sms dia karena saya sangat ingin ngobrol dengannya dan memang saat itu dia sedang menyetir. Namun setelah itu tidak ada sms lanjutan dari dia apakah dia sudah sampai, atau dia sudah bisa terima telpon atau apa, pokoknya saya di-gantung-kan dengan menanti sampai jam 11pm. Dan ketika saya menelpon dia jam 11-an pm itu, dia tentu saja (aneh sih karena dia seperti makhluk nokturnal) sudah tidur. Lalu keesokan malamnya saya kembali “nekatz” langsung telpon saja dan dia sedang “farewell” salah satu sahabatnya yang nota bene teman saya juga. Saat itu saya sangat kecewa besar, meski dia sudah mengatakan “kemaren maaf ya saya sudah tidur”, tapi.... Cukup sudah. 20 detik saja saya telpon dan langsung saya tutup telponnya. Kekanak-kanakan? Mungkin, tapi saya tidak mau marah padanya saat itu. TIDAK. TITIK!
Tampaknya masalah semua berpusat dari saya, dimana saya sendiri yang membuat masalah itu timbul. Pikiran-pikiran saya yang membuat semua masalah ini timbul. Catur pernah mengatakan kepada saya, “kalau ada masalah, ya mbok ya dibicarakan. Jauh di mata bukan berarti tidak berteman lagi kan. Jangan rusak pertemanan hanya karena miskomunikasi”. Tapi entah kenapa kalau saya harus mengatakan semuanya ke dia, itu sepertinya tidak mungkin. Entah saya tidak berani menanggung resiko atau menghadapi reaksinya terhadap pengakuan saya atau saya takut dia akan menjauh dari saya. Saya sayang dia, dan saya tidak mau kehilangan dia.
Seberapa besar rasa khawatir saya takut kehilangan dia? Sangat besaaaaaaaaaarrrrrrrrrrr.................
Kalau hari jum’at malam atau minggu malam saya baca twits dari TMC tentang lalu lintas tol Cipularang dan ada kejadian kecelakaan, langsung saya “dag dig dug”. Apabila saya seperti menjauh dari dia, saya takut dia akan menjauh juga dari saya (tp langsung lega ketika dia nge-buzz ym saya lagi). Ya. Saya memang takut kehilangan dia.
Sekarang ini yang sangat saya inginkan adalah:
1. Hangin’ around with him
2. Watching movie or show with him
3. Pergi ke planetarium di TIM (dulu dia pernah ngajak saya ke sini, tp saya batalkan. Gk mungkin kan pake seragam pemda ngayap ke Planetarium)
4. Pergi ke curug di Ciawi (tempat dia pernah melarikan diri dari kepenatan + stress)
5. Pergi ke Rengasdengklok (soalnya kita pernah saling penasaran waktu saya nebeng dia ke BDG)
6. Buka puasa bareng
7. Apapun pokoknya spend a day (everyday) with him (ini super duper gawat, kerusakan otak stadium 3)
Tapi ada juga yang saya inginkan lainnya :
1. Kembali ke masa saya tidak pernah mengenal dia
2. Kembali ke masa tidak pernah bertemu dengannya
3. Kembali ke masa tidak pernah dekat dengannya
4. Melupakan perasaan sangat sangat sangat menyukainya
Kenapa saya menginginkan ini? Karena saya tahu, saya sudah menyakiti banyak orang. Saya menyakiti diri saya sendiri dan mungkin juga secara tidak langsung saya menyakiti dia. Tapi.......saya sayang dia. Saya tidak ingin kehilangan dia. Bagaimana donk?
There...I’ve said it what my feeling about u my bro.
2 comments:
You should admit that you are falling in love with him :)
@ Anonymous : i don't know whether is in love or just some kindda big admiration.
Post a Comment